Wednesday, November 20, 2019

Rumah Nyonya Katty

Rumah Nyonya Katty

      Aku memiliki seorang adik laki-laki bernama Billy, ia masih kecil dan suka menggumamkan hal-hal yang tidak jelas, bahkan ia pernah menyapa benda mati layaknya benda itu berbicara. Contohnya saat kita melewati jembatan kecil di dekat hutan. 

      "Halo paman! sudah dapat ikan berapa?" Katanya seraya melambaikan tangannya dan menatap tepi sungai yang tidak berpenghuni.

      Billy juga pernah mengelus sesuatu di udara. Juga saat melewati rumah tua, reyot bagaikan bangkai kapal pecah. Rumah itu peninggalan almarhumah wanita tua, Nyonya katty. Billy sangat gembira bila kita melewati rumah itu, ia juga sering menggambarkan bagaimana perawakan Nyonya Katty padaku. Aku pikir itu hanyalah sebuah imajinasi bocah kecil yang luar biasa. Namun ia menceritakannya sangat terperinci yang membuat seolah-olah itu bukanlah sekedar imajinasi namun kenyataan.

      Lurus hati, aku tidak suka saat melewati rumah itu, apa lagi Billy yang senantiasa menceritakan siapa Nyonya Katty itu. Tetapi, akhir-akhir ini Billy berpesan bahwa rumah Nyonya Katty sudah tidak aman, karena ketidak-adaan Nyonya Katty. 

      Suatu saat, aku hendak mengantar Billy ke rumah temannya untuk merayakan pesta ulang tahun. Saat itu aku lupa untuk mengantarnya lebih awal dan berangkat dengan tergesa-gesa. Rute tercepat untuk pergi ke rumah Tommy adalah dengan melewati rumah Nyonya Katty. Aku juga membawa temanku, Richard. Untuk sekedar menemaniku di perjalanan pulang.

      Namun aku lupa satu hal, sahabat ku ini tergolong orang yang sangat jahil. Saat melewati rumah tua itu, ia merampas bola yang dibawa Billy sebagai hadiah ulang tahun Tommy. Namun karena rampasannya terlalu kuat bola itu terlempar masuk ke dalam rumah Nyonya Katty dengan memecahkan salah satu jendelanya. Seketika bulu kudukku meremang. Setelah itu Billy menangis, Richard merasa bersalah, ia bersudi ingin mengambilkannya kembali. 

      "Tenang-tenang, aku akan mengambilkannya untukmu!" Kata Richard dengan tenang. Bukannya berhenti menangis, Billy semakin deras menangis layaknya sungai mengalir.

      "Kau tidak ingin kami mengambilnya?" Tanyaku seraya berjongkok di hadapan Billy dan memegang kedua pundaknya. Tangisannya mereda namun tidak cukup untuk membuatnya berhenti.

      "Bagaimana bila aku dan Richard mengantarmu terlebih dahulu ke rumah Tommy?" Tanyaku lagi dan barulah ia mengangguk.

      Di perjalanan semuanya menjadi bisu, terutama Billy yang sudah tidak berceloteh lagi, gelagatnya menunjukkan kekhawatiran tak terbendung. 

      Sesampainya di rumah Tommy, kami menyampaikan salam perpisahan, Namun tidak seperti biasa, Billy memeluk Richard dengan erat padahal ia tidak suka memeluk maupun dipeluk dengan orang asing. Setelah mereka berpelukan, aku mengusap puncak kepala Billy. Rasanya seperti salam perpisahan untuk selamanya!

      "Hati-hati!" Kata Billy pada kami seraya melambaikan tangannya, ia masih tersendat-sendat karena tidak bisa memberi hadiah ulang tahun pada Tommy.

      Setelah beragumen dengan Richard dan ia dengan gigihnya mengajakku melewati rumah Nyonya Katty lagi. Kamipun melewati rute itu lagi. Sebenarnya aku bimbang, dibandingkan mengambil bola itu lebih baik membelinya lagi bukan?

      "Kau tahu? ku rasa akan lebih cepat bila kita mengambil bola itu kembali dibanding membelinya, lagi pula dari mana uang untuk membelinya?" Katanya sebagai alasan, namun terlihat di manik matanya ia menyesal dan bersalah.

      "Aku akan mencoba untuk mengambilnya!" katanya dengan tegas dan berani. Sampai di depan rumah Nyonya Katty, Richard menjabat tanganku dan memelukku ala sahabat yang akan berpisah.

      "Doakan aku selamat kawan!" Kata Richard seraya menjelek-jelekkan suaranya yang terdengar menjijikan sampai ke saraf tulangku. Aku tahu ia hanya berusaha membuat lelucon.

      Richard berjalan memasuki pekarangan rumah tua itu, melewati semak-belukar yang menari gemulai dibawa angin. Ia memasuki ruangan utama dan terhampar hawa dingin yang menusuk kulitnya. Richard masuk ke ruangan dimana bola itu berada.

      "Aku menemukannya!" Teriaknya memberi tahu ku. Ia melempar bola itu melalui jendela kaca yang pecah akibat tadi. Aku menangkap benda bulat itu dengan sigap.

      "Baiklah! cepatlah keluar!" Balasku berteriak, namun tidak ada balasan. Ku pikir ia tidak mendengar perkataanku jadi ku ulang lagi, namun ia benar-benar tidak membalas.

      Sudah lewat dari 10 menit semenjak ia melemparkan bola ke padaku, ia tidak juga kunjung keluar. Cemas, ku panggil namanya beberapa kali sampai dahaga menyambut tenggorokanku, namun tidak ada jawaban. Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundakku aku terkejut dan menoleh ke belakang. Bagaimana bisa Richard berada di belakangku? namun aku tidak ingin memusingkan hal itu lagi dan mengajaknya untuk segera pulang.

"Tunggu! sepertinya ada yang tertinggal, bisakah kau ambilkan?" Katanya menahanku, raut wajahnya aneh sekali juga sangat pucat. 

"Sudahlah kita pulang saja!" Rengekku yang benar-benar tidak nyaman.

"Kau takut ya?" Tanya Richard seraya tersenyum miring mengejekku.

      "Hhh... baiklah." Balasku, sebenarnya aku takut namun aku tidak ingin dicap penakut olehnya jadi aku melangkahkan kakiku ke arah rumah itu dengan sedikit gemetaran.

       Tiba-tiba seorang pria tua berjalan tertatih-tatih kearah ku, kulitnya pucat pasi juga seperti tulang saja.

      "Jangan kau lanjutkan nak!" Katanya, heran aku menoleh menatap Richard dengan raut wajah bingungku. Aku menoleh lagi dan pria tua itu sudah menghilang.

      Oh aku melupakan suatu hal, jadi ku putuskan untuk berjalan kembali ke arah Richard. Entah mengapa aku merasa lega namun juga khawatir. Wajah Richard juga menjadi lebih pucat dari sebelumnya. Sekarang ia terlihat seperti orang yang kekurangan pigmen.

"Kau baik-baik saja?" Tanyaku khawatir, ia membalas dengan beberapa anggukan.

      "Sepertinya kita pulang saja terlebih dahulu? kau pucat sekali! kita bisa mengambilnya lain waktu!" Kataku lagi, namun ia gigih untuk memintaku mengambil 'sesuatu' itu.

"Baiklah... apa yang harus ku ambil?" Tanyaku menyerah dengan kegigihannya.

      "Ku mohon ambilkan jasadku yang tertinggal di dalam sana.. " Katanya lirih, aku sangat terkejut, bergemetaran dan segera berlari meninggalkannya. Keringat dingin menetes dari dahiku. Aku kembali ke rumah Tommy dan disana, di pagar rumahnya, Billy sudah menungguku. 

"Kau ke rumah Nyonya Katty?!" belum ku beritahu ia sudah menghujamku dengan pertanyaan seperti itu.

      "Dimana Richard?! ku pikir kau akan menahannya dengan ketakutanmu yang besar itu! ini sudah terlanjur kita benar-benar tidak bisa menolong Richard! kita tidak bisa melawan makhluk mengerikan itu!" kata Billy padahal aku belum mengatakan sepatah katapun. Namun apa maksudnya makhluk mengerikan, Nyonya Katty, aku tidak mengerti. Setelah itu ia menjelaskan padaku, Nyonya Katty benar-benar sudah pergi ke alam sana, yang menempati rumahnya bukan ia lagi melainkan makhluk mengerikan itu, perilaku Billy saat menjelaskan benar-benar berubah 90 derajat.

      Sekarang aku tahu 2 hal yang pasti. Billy benar-benar bisa melihat 'sesuatu' yang tidak sembarang orang bisa melihat dengan mata telanjang. Juga Richard yang benar-benar menghilang. Awalnya ku kira semua ini hanyalah sebuah mimpi, namun semuanya semakin nyata ketika kedua orang tua Richard menyari tentang keberadaannya kepadaku. Namun aku hanya membalas dengan ketidak tahuan yang palsu. Aku benar-benar merasa bersalah, maafkan aku Richard. Entah apa yang menerkam dan membunuhmu.